Popular Posts
Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 5
Paginya, kami
sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom
waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante,
biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada
pembicaraan penting waktu makan.
Tante bangkit
menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa
semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang
tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku
berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante.
Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus
keenakkan. Aku ingin lagi…!
Tante bagaimana ya,
apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas.
Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih
mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu,
wajar saja, ‘kan ada suaminya.
***
Dua hari kemudian
ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak
ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir
begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa.
Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan.
Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian
Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan
terangsang lagi.
Selama dua hari ini
aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku
langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan
sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante
juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh
suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…!
Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku
selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika
tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku
terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum,
terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur,
melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi
Tante”
Ia tutup pintu
kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku
merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku
menumpahkan air minum karena kaget.
“Ada kabar
gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah
beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran.
Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar
gembira apa ?
Ketika Ia kembali
lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan
telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini.
Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam kemudian
kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian
rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster
pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru
saja mandi, mungkin.
“Anto” Oom Ton
memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung,
dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar
gembira itu!
“Baik, Oom, kapan
Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam
tiga”
Dua hari Oom tak ada
di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante
? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira
?
Kok kamu yakin kabar
gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante,
Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang
membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya,
Ma”
“Ya, Pa, hati-hati
di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati
di rumah”
Oom mencium pipi
Tante, lalu menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya
To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah
mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke
jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke
rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh
rencana.
Luki dibawa
pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman.
Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul
‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget,
lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak
suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di
kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk
berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi,
penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa
jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah
aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling
meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika
di belakang. Aman!
Kupegang tangan
Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas
tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku,
tetap membaca.
Ditariknya tangannya
untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya.
Kesempatan.
Kuusap lembut
pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu
lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani,
tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya
mulai terdengar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku
itu sambil menghela nafas panjang.
“To., kamu engga
sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante,
saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku
terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante,
saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin
Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan
basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali.
Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
“Saya mohon, Tante”
kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku
dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada
itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh”
desahnya.
Tiga hari lalu,
waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan
sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama
terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik
kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun
kelaminku memasukinya.
Sekaranglah
kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing
dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu
mengagumkan.
Putih, besar,
menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak
panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di
depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit
kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu
dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke
kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu
dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar
biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku.
Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh”
lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan
kepalaku.
Kukemot lagi,
kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi
juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak
antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku
memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan
buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan
dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting
agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku
dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak
merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang
waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa
enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku.
Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante
mendorong kepalaku.
“Jangan, To.
Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku.
Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante,
habis gemas sih.”
“Yahhh.engga
apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya dadanya
sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan
mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk
pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri.
Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas,
menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar
saja.
Kutarik kedua tangan
Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan
ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan
gagahnya persis di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh”
Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali
sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya,
kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami
berdua.
Kukunci pintu
kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan
bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan
kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus
hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya
menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak
tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka
kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu
dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu,
lalu kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh,
To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah
masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang
sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang
penting enak.
Sambil memegangi
kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak.
Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong,
sampai habis, sampai mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih,
Toooo, enak sekali”
Nyaman, sudah
didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai
berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan
bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil,
atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari
lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli luar biasa.
Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan
lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku
sudah hampir tiba di puncak.
Aku coba berhenti
bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku
menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh
bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil
menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan
Tantepun makin ngawur.
Aku jadi cepat,
makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat, mengejang,
berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti
berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku
mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk
di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai
menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku
selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana
Tante, saya engga bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya,
Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya
memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang
sudahlah, kamu lumayan tadi”
“Lumayan gimana
Tante ?”
“Ada kemajuan
dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante
cuma menghibur saya”
“Benar, To. Memang
Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak
tenteram.
“Ini karena kamu
belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar
biasa”
“Gimana caranya
supaya saya bisa lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan
tahu sendiri”
“Ajarin saya ya,
Tante”
Tante tak menjawab.
Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam,
pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu,
ya ?”
Aku membantunya
berpakaian.
Merapikan karet
celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu
yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku
serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku
merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat
sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Anto sayang Tante”
kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku
lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante,
pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Anto ingin kita terus
begini”
“Oh, itu maksudmu.
Asal kamu bisa jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus
hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari,
penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana”
Tante ke luar kamarku
***
Tags: cerita dewasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Share your views...
1 Respones to "Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 5"
http://taipansport.blogspot.com/2017/07/taipanqq-guardiola-messi-bisa-buat.html
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Post a Comment