Popular Posts
Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 2
Waktu kelas 3 SMP
aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau
pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang
pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.!
Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman,
raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman,
raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya,
belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada
Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga
hamil. Engga tahu aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga
tahu ?? Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya.
Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu
saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu
hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia.
Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ?
Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu
kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya.
Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang
sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah
lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku
terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran
ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa
sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan
pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya
yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing
bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan
lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika
hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika
berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika
membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik
kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak
cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan
menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli.
Anak ini memang
manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai
mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit,
persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam
Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski
dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya
besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia
nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke
ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah
sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang
keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil
tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak
dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan
bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak.
Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu
samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat
sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat
perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku
?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung,
pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat
sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus,
berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar,
proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu
sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah
dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah
pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku
belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih
penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya,
siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara
sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu,
lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku
kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku
berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi
membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di
tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas
sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat
sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke
sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh.
Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja
aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas
warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh
dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik”
itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho
apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan
sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya.
Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di
kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka
sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ?
Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran
nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak
mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama
susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si
Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia
selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku
minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.
Orangnya lincah dan
ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol
dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu
pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia
menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku
sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang
jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana
dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah”
Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu.
Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara
memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan
Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah.
Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya
tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini
aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai
ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku
ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu
Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika
melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak,
engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah.
Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara
mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat
pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas
paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia
membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin
merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget
aku.
“Ah, engga. Apa mbak
engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih
capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama
mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya
di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu
baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya
tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong
dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya
selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya
sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin
?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat
aku”
“Jangan dong, itu
aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si
Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain
dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan
dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya
biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau
memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar,
atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang
satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil”
melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil
itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit.
Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin
menarik.
“Mau makan sekarang,
Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya.
Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya,
ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan
Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau
mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan
siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja
pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini
?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang,
oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua”
Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah”
Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang
walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas
pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak
sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh
pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak
berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit,
ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu
bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut,
kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa
menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku
yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan
ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah,
makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu,
habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya
mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak
kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal
bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh,
harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda
sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia
sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia
tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku,
bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!”
protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia
berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan.
“Terima kasih”
kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya
lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!
***
Tags: cerita dewasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Share your views...
1 Respones to "Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 2"
http://taipansport.blogspot.com/2017/07/taipanqq-guardiola-messi-bisa-buat.html
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Post a Comment