Popular Posts
Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 1
Jakarta! Ya,
akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi
orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah utara Purwokerto,
Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak menggambarkan usiaku yang
baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku
menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa
Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau
tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi
kekar dan kulit gelap. Kebunku
memang tak begitu
luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya
5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.
Boleh dikatakan aku
ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri dari hanya belasan
rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak antar rumahpun berjauhan
karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang bertemu orang. Situasi semacam
ini mempengaruhi kehidupanku kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai
bergaul, apalagi dengan wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat
dikatakan nol, karena lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan
sekolah teknik yang muridnya 100% lelaki.
Pembaca yang
budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata kehidupanku
sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku ceritakan semuanya
kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang yang aku percayai yang
hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk majalah dinding, buletin
sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas
Joko kemudian meminta izinku untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik
dan katanya akan dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku
tidak disebutkan. Jadi panggil saja aku Anto, nama samaran tentu saja.
Aku ke Jakarta atas
seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku
sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk
melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku
menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di
kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di
bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya
itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke
desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut
saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu
anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan
berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke
Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan
turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai,
pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan
berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening.
Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali
naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main,
sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan
alamat yang kubawa.
Berdebar-debar aku
masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang
wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin
di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit
curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Anto, ya ?
Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya
yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke
Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini.
Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!?
teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan
minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira
keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya
untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak
menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang
Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga
tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Delia namanya (?Panggil
saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah
dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar
sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan
ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah
utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan
selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut
tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu
untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku
tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku masih merasa
canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti
kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too,
sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga.
Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore
tadi aku makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti
kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat.
?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Anto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku
juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau
Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada
laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan
lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?
***
Hari-hari baruku
dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan
Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat
melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat
SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki
melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik.
Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap
cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Delia, isteri Oom Ton
menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding
dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik
membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik,
walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku
yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Anto.
Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya
aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi
cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas
tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid
yang pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku membaca
inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang
pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku
menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan
majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak
sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di
kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah itu banyak
memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan
modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman.
Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu
pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga
hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan
membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat
jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang
ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku
lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali
melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah
Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya
wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang
selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan
kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang
hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya
tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa
setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman
baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani,
demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri
pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit
memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup
membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu
membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si
Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya
menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya.
Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang
mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek.
Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Delia! Ya,
kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia
isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana
berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini
aku melihat Tante Delia sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar
setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin
cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati
Tanteku.
Aduh! Kenapa begini
? Apanya yang begini ? Tante Delia! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari
pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang
keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang
sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya
terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca
sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang
ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang
keluarga, aku menjumpai Tante Delia duduk di kursi dekat TV menyilang kaki
sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi,
cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis
bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk
menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian
paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha
selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi
tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam
sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa?
pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya tidak
sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin
karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada
dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada
alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai
kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante,
searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya
Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan
bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan
engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.?
?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante.
Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga
apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan
coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong
aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini,
keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi
pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima
kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di
sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah
posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna
merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga
sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada
sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan
perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih
sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya
tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV,
sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat
ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun
biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan
pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk
menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia
memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap
pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut
pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya
isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang
pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak
menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Delia
banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres
ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil
Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari.
Keesokkan harinya
ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang
menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman
yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara
buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena
buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu
ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas
kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang
mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai
jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya
yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang sekolah tidak
seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu
kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan
tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap
pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.
Gemetaran aku
dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus,
dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya
bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi
membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang.
Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh
sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan
kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol
keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar.
Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang
tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke
pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu.
Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian
turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah
selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak
kemudian hari ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Delia!
Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak
memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru
lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah
lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai
kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa
bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu
banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak
pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada
Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera
mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul
istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan
seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya.
Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi
dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh.
?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil
berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti,
berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di
rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku
tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku
tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku
melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke
depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin
mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil
di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus
tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya.
Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti
diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku
ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya.
Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik
merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut
ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi
tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba
ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup
olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan
banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan
nikmat? belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya
dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan.
Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya
pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan
menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari
samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser
kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih
ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi
nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju
mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan,
dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang
pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau
sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.?
?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku
mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah
sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke
belakang. Tubuh ideal, memang.
Malamnya aku disuruh
makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih
terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante
yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan
Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi,
rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di
kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk
di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku
langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya
piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan
baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya
dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang
pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli
di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku
merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar
berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma
mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang
tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi
tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku
ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa!
Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas
Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok
aku tanyakan.
***
Esoknya aku
ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya
aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak
kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget.
Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi
basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq.
Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan
belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa!
?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja.
Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai
orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga
juga.? ?Pantesan telat kalau begitu.
Tags: cerita dewasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Share your views...
0 Respones to "Merantau Belajar dan Tante Delia Bag 1"
Post a Comment